Sunan Kudus yang memiliki nama Kangjeng Djakfar Shodiq adalah salah satu dari anggota Wali songo (wali sanga) yang turut serta dalam penyebaran agama Islam di Indonesia pada masa abad XV. Wali songo yakni kata majemuk dari wali dan songo, wali yang berasal dari bahasa Arab waliyullah (orang yang mencintai dan dicintai Allah), sedangkan songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan, jadi wali songo berarti wali sembilan yakni sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah, mereka mengadakan dakwah Islam di daerah-daerah Jawa yang belum memeluknya.
Menurut penuturan Denny Nur Hakim (staf pengurus Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus-YM3SK) Sunan Kudus sebelum menjadi anggota wali sanga pada awalnya adalah seorang qodhi (hakim) pada masa Kerajaan Demak Bintoro dan diberi gelar sunan, kependekan dari susuhunan atau sinuhun, yang memiliki arti (orang yang dijunjung tinggi). Setelah menjalankan tugasnya menjadi qodhi, Sunan Kudus meneruskan penyebaran agama Islam ke utara Demak dan sampailah di Tajug, yang sekarang masuk di wilayah Desa Kauman Kecamatan Kota Kudus. Nama Kudus sendiri diambil beliau atas adaptasi dari bahasa Arab Al-Quds (suci) dan semenjak itu beliau dikenal sebagai Sunan Kudus.
Sunan Kudus selain menjadi qodhi adalah seorang ulama yang menyandang Waliyul ‘Ilmi (Guru Besar) di antara kesembilan wali di tanah Jawa. Sunan Kudus dalam berdakwah kepada masyarakat, seperti halnya sunan lainnya pada masa akhir abad XV sampai awal abad XVI merujuk kepada Al-Qur’an Surah an-Nahl ayat 125 yang memiliki arti ‘Hendaknya engkau mengajak orang ke jalan Allah dengan hikmah, dengan peringatan yang ramah-tamah serta bertukar pikiran dengan mereka melalui cara yang sebaik-baiknya’.
Sunan Kudus atas tuntunan di atas, memiliki kebijaksanaan serta kearifan dalam berdakwah dengan menyelami dan memahami apa yang diharapkan masyarakat serta menghormati sesama pemeluk agama lainnya. Salah satu kisah menceritakan lembu (sapi) dihormati para pemeluk agama Hindu sehingga rakyat dilarang menyakiti ataupun menyembelih oleh Sunan Kudus. Selain itu juga salah satu kisah menceritakan tentang Sunan Kudus nyancang lembu (mengikat sapi) di sekitar pekarangan Masjid Menara Kudus, sehingga banyak masyarakat Kudus yang semula memeluk agama Hindu berdatangan dan berkumpul di masjid, dan banyak di antara mereka akhirnya memeluk agama Islam.
Sunan Kudus selain berdakwah melalui cara saling menghormati pemeluk agama lainnya juga menyampaikan dakwahnya melalui gending (lagu), beberapa karya gending Sunan Kudus di antaranya Maskumambang dan Mijil yang berisikan filsafat serta berisikan tuntunan keagamaan agar menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Sunan Kudus mendirikan Masjid Al-Aqsha dan membangun daerah Kudus sekaligus. Hal ini seperti yang terabadikan dalam sebuah inskripsi yang terdapat di atas mihrab atau pengimaman Masjid Menara Kudus bahwa pendiriannya pada Selasa Legi 19 Rajab 956 Hijriyah bertepatan dengan 23 Agustus 1549 Masehi.
Sumber Buku:
Hassan, E. N., & Anggni, M. (2015). Menara kudus menjaga tradisi nusantara. Kudus: Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus.
Salam, S. (1986). Ja’far shadiq sunan kudus. Kudus: Menara Kudus. dan (1988). Menara kudus. Jakarta: Kuning Mas.
Sunyoto, A. (2016). Atlas wali songo (Cetakan I). Tangerang Selatan: Pustaka IIMan dan LESBUMI PBNU.