Dalam tradisi Jawa, komunikasi dikategorikan dalam tiga model: esem, semu dan dupak.; senyum, isyarat simbolik dan terus terang. Kategori ini muncul dari variasi komunikator dan audiensnya. Kategorisasi inilah yang diangkat dan dipakai sebagai pisau analisa dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman “Gen-Dupak” yang digelar pada Sabtu (16/9).
Anis Sholeh Baasyin, budayawan sekaligus penggagas Suluk Maleman menyebut dalam filosofi itu berkembang di dunia komunikasi terutama dalam hal menangkap pesan. Esem menjadi model komunikasi tertinggi lantaran masih berupa pesan simbolik non verbal. Atau verbal tapi inti pesannya masih sangat ditentukan oleh kemampuan audiens mencerap, memilah dan memilihnya.
“Seperti halnya saat Al Qur’an menyebut bahwa dalam khamr ada kebaikan dan keburukan. Meski keburukannya lebih besar. Jika audiensnya memiliki kepekaan tinggi tentu langsung menangkap persannya bahwa tidak boleh meminum khamr karena banyak buruknya,” terangnya.
Dalam kategori semu, pesan disampaikan lewat serangkaian simbol verbal. Meski letaknya di bawah model esem, tapi pesan ini pun masih sangat ditentukan oleh kemampuan audiens untuk menafsirkannya.
Kalau mengambil contoh dari Al Qur’an, semu ini sejajar dengan ayat yang melarang salat saat mabuk. Meski masih bersifat terbatas, namun pernyataan ini sebenarnya semakin mempertegas pesan pokok yang ingin disampaikannya, yakni untuk menghindari khamr.
“Nah jika ada yang lebih jelas, tegas, langsung definitif menuju sasaran yang dimaksud atau bloko suto itu pada model komunikasi dupak. Contohnya dalam Al Qur’an adalah ketika khmar secara umum diharamkan. Jadi isi pesannya sangat jelas, tak perlu dan tak membuka ruang tafsir untuk memahaminya” ujarnya.
Hanya saja, demikian lanjut Anis, sekarang masalahnya tak sesederhana itu. Dari satu sisi, banjir informasi akibat terbukanya ruang internet, justru membuat posisi pesan menjadi tidak jelas.Terlebih di era media sosial seperti sekarang ini.
“Kalau dilihat di medsos. Antara satu pihak dengan pihak lainnya saling menegasikan satu sama lain. Ini tentu akhirnya membuat bingung. Hal ini tentu kemampuan memaknai pesan dan menjadikan fokus terpecah-pecah. Sehingga akhirnya penentuan untuk menangkap pesan hanya mengandalkan emosi. Cocok yang mana, suka yang mana, bukan lagi mana yang diyakini benar,” tambahnya.
Oleh karena itu Anis mengingatkan bahwa pada dasarnya manusia harus memahami bahwa dia tidak akan pernah bisa menyimpulkan sesuatu secara sempurna. Terlebih di saat komunikasi dan informasi telah banyak yang terkorupsi. Sehingga harus benar-benar bijak dalam bersikap.
“Dalam kondisi semacam ini, bahasa sebagai pengantar pesan pun dibuat menjadi tidak memiliki arti apa-apa, simbol-simbol yang dipakainya menjadi tidak pasti semua. Hal itu membuat pesan yang diberikan secara jelas dan tegas dengan model dupak pun sering tidak juga bisa dipahami. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa ini adalah abad kematian bahasa. Salah satu penyebabnya yang tampak jelas di permukaan adalah dominasi politik. Politik hari ini seringkali membuat bahasa kehilangan makna, dan sekadar menjadi sampah,” tambahnya.
Budi Maryono, budayawan yang juga menjadi pengisi Suluk Maleman juga menyebut sekarang ini banyak polusi bahasa. Saat ini sesuatu yang serius seringkali dianggap guyonan dan begitu sebaliknya.
“Semua pesan susah, nyaris tak tersampaikan. Manipulasi bisa terjadi dimana pun. Apalagi saat kampanye, hati-hati,” tambahnya.
Dia juga menyoroti keberadaan medsos termasuk tiktok yang cukup mengkhawatirkan. Dia melihat banyak orang yang menafsirkan Al Qur’an. Meski tampak meragukan, namun tafsir itu disampaikan dengan begitu meyakinkan. Alhasil banyak yang percaya dan mengikutinya.
“Tak sedikit yang kemudian merasa paling benar. Padahal hal itu akan memunculkan ego dan kesombongan. Sedang orang sombong tidak akan masuk surga. Kalau tidak di surga tidak ayem. Iblis juga hancur karena sombong. Tentu yang tahu secara terang dan tersembunyi hanya Allah,” tambahnya.
Anis Sholeh Baasyin menambahkan, jika jujur pada diri sendiri nantinya dibuka untuk menafsirkan. Hanya saja hal itu tentu untuk kebutuhan personal. Orang yang terbiasa membaca nantinya akan terbimbing dan mendapatkan pemahaman serta hubungan dialektis antara pembaca dan ayat yang dibaca.